Lelaki "Berkuasa" atas Perempuan, Apa Sebabnya?

Lelaki memiliki kekuasaan yang membuatnya merasa berhak melakukan KDRT.
Kamis, 11/3/2010 | 11:43 WIB

KOMPAS.com — Sosok lelaki selalu saja dilabeli dengan kekuasaan. Menjadi lelaki artinya bebas berbuat apa saja. Bagaimana label ini bisa terbentuk dan diterima banyak orang di seluruh dunia?

Dalam budaya keluarga, anak lelaki dibolehkan keluar malam, tetapi hal yang sama tak berlaku untuk anak perempuan. Contoh sederhana ini menjadi masalah besar jika kemudian lelaki terbentuk menjadi manusia yang berhak atas segalanya. Terutama jika sudah berkaitan dengan relasinya dengan perempuan.

Kasus KDRT lebih banyak menempatkan perempuan sebagai korban. Data Komnas Perempuan menyebutkan, 96 persen istri mengalami kekerasan, terutama psikis dan seksual. Usia perempuan korban juga cenderung lebih muda, yakni 13-18 tahun, sementara pelakunya lelaki usia produktif 25-40 tahun. Kekerasan terhadap perempuan tak hanya terjadi di rumah tangga, tetapi juga komunitas, bahkan negara yang melibatkan pejabat publik (data catatan tahunan Komnas Perempuan periode 2009).

Kekuasaan lelaki mendorong dirinya melakukan kekerasan terhadap pasangan. Aktivis dan penulis senior, Nur Iman Subono, yang kerap disapa Boni, mengatakan, kekuasaan lelaki didapat dari budaya patriarki, privilese, dan kultur permisif.

Patriarki
”Dalam budaya patriarki, lelaki memiliki peran dalam keluarga. Namun, dalam perkembangannya, peran ini menyebar ke dunia publik,” kata Boni dalam seminar bertema ”Gerakan Laki-laki Baru” di Kampus Ukrida II Jakarta, Rabu (10/3/2010).

Tak hanya memegang peranan di rumah, lelaki juga berperan di tempat kerja dengan memegang posisi strategis tertentu. Saat itulah kekuasaan lelaki semakin melebar dan tak terbendung, termasuk dalam hubungan dengan pasangan. Dengan kekuasaannya, lelaki menempatkan dirinya secara dominan dan melakukan tindak kekerasan jika menurut dia pasangan tak lagi tunduk terhadapnya.

Privilese atau hak istimewa
Lelaki lebih mendapat prioritas dari keluarga untuk urusan pendidikan. Pada keluarga tradisional, dengan kemampuan ekonomi rendah, anak lelaki akan mendapat kesempatan lebih besar untuk sekolah.

Stereotip perempuan yang didekatkan dengan urusan rumah tangga membatasi dirinya terhadap akses pendidikan. Larangan keluar rumah pada malam hari bisa menjadi contoh sederhana atas pembatasan akses terhadap perempuan. Hak istimewa yang hanya dimiliki lelaki ini turut mendorongnya melakukan tindak kekerasan kepada perempuan karena merasa lebih berkuasa.

Permisif
”Lelaki yang menggoda perempuan yang sedang melewatinya dianggap biasa. Jika perempuan menggoda lelaki, lantas dianggap murah. Masyarakat permisif atas tindakan lelaki, tetapi tidak kepada perempuan,” kata Boni.

Jika kemudian suami melakukan KDRT kepada istri, keluarga atau masyarakat lebih permisif atas tindakan suami. Masalah yang lebih muncul di permukaan adalah menyalahkan perempuan, hingga membuat suami marah dan memukul, misalnya. Perempuan pun permisif, dengan konstruksi sosial kuat melekat pada kaum hawa. Kemudian menganggap lelakinya khilaf telah memukulnya dan meyakini kejadian serupa tak akan terulang.

Kekuasaan lelaki semakin memperkuat konstruksi budaya yang selalu menempatkan perempuan tak berdaya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar