Jangan Anggap Enteng Konflik dalam Pernikahan

Jangan pernah menunjukkan masalah di depan anak.
Selasa, 10/8/2010 | 15:52 WIB

KOMPAS.com - Menjalani kehidupan pernikahan tanpa konflik bisa saja terjadi, namun realitasnya hal ini jarang terjadi. Psychology Today menuliskan, di Amerika, setengah dari pernikahan pertama berakhir dengan perceraian, 60 persen pernikahan kedua juga mengalami kegagalan. Anda bisa mencegah kegagalan ini dengan memahami konflik dalam pernikahan dan mencari tahu bagaimana mengelolanya agar hubungan tetap terjaga harmonis.

Sumber konflik dalam pernikahan
Sebuah penelitian yang fokus pada hubungan pernikahan menyebutkan, konflik dalam relasi suami istri tak terelakkan. Sumbernya bisa dari pertengkaran kecil sehari-hari, hubungan dengan keluarga, perbedaan sikap tentang cara membesarkan anak, dan persoalan keuangan. Persoalan ini hampir terjadi pada setiap pasangan menikah, yang tak terhindarkan namun sangat bisa diatasi. Mengenali masalah dan menyadari bahwa relasi suami istri tidak sehat dan perlu diperbaiki bisa memperpanjang usia pernikahan.

Pilihan gaya menghadapi masalah
Terdapat tiga gaya berbeda dalam menghadapi masalah dan konflik dalam relasi pasangan menikah. Mengenali tipe pasangan menghadapi masalah, bisa menjadi salah satu cara untuk membangun hubungan yang lebih sehat. Artinya, saat konflik datang, Anda dan pasangan bisa menemukan teknik yang lebih tepat dalam mencari solusi bersama.

* Pasangan saling membenarkan bahwa ada masalah dalam hubungan pernikahan. Kemudian pasangan bekerjasama dengan cara yang tenang tanpa emosi, fokus pada masalah atau konflik, untuk mencari solusi bersama.

* Pasangan bersitegang dan berselisih paham saat konflik muncul.
* Pasangan bersepakat untuk saling menerima perbedaan sikap dan persepsi masing-masing terhadap masalah.

Dampak negatif konflik pernikahan terhadap anak
Menurut Asosiasi Terapi Pernikahan dan Keluarga Amerika (The American Association for Marriage and Family Therapy/AAMFT), konflik yang terjadi pada pernikahan membawa dampak negatif bagi anak-anak.

Saat konflik terjadi, fokus Anda dan pasangan tak berpusat pada kepentingan anak-anak. Sebagai orangtua mungkin Anda dan suami selalu ingin memberikan yang terbaik untuk anak. Namun ketika konflik terjadi Anda bingung bagaimana caranya melakukan hal terbaik untuk anak.

AAMFT lebih jauh menjelaskan bahwa ksploitasi terhadap anak bisa terjadi ketika orangtua mengalami konflik pernikahan. Misalnya, anak dijadikan penengah, dijadikan pembawa pesan untuk pasangan, ditanya tentang aktivitas ayah atau ibunya, diberi keyakinan bahwa ayah atau ibunya punya sifat-sifat buruk, bahkan diminta memilih ikut siapa jika ayah-ibunya berpisah.

Perilaku seperti ini akan menimbulkan risiko bagi anak, seperti depresi, kehilangan arah karena tak bisa membedakan benar-salah dari perilaku orangtua, sulit membangun hubungan sosial, dan penurunan prestasi akademik.

Jangan pernah menyepelekan masalah

Asosiasi Psikologi Amerika (The American Psychological Association) menegaskan, pasangan suami istri sebaiknya tidak menyepelekan atau mengabaikan krisis dan konflik. Sebaliknya, hadapi dan selesaikan konflik pernikahan.

Lebih penting lagi adalah, pasangan menikah perlu membangun kehidupan berpasangan lebih positif dengan berbagi intimasi, menemukan identitas pasangan dengan tetap menghargai otonomi masing-masing individu. Komunikasi dan diskusi perlu dibangun terus-menerus dengan pasangan, seperti bagaimana Anda dan pasangan ingin membesarkan anak, memilih sekolah yang tepat, atau lainnya. Saling berbagi, mengetahui dan mendengar bagaimana sikap, pemikiran, dan pendapat pasangan bisa mencegah miskomunikasi dan kesalahpahaman. Dengan membangun relasi seperti ini, pasangan lebih mampu menghadapi konflik. Bahkan konflik mungkin jarang muncul dengan terbentuknya hubungan pernikahan yang sehat.

Kompromi dengan pasangan
Sikap kompromi terhadap pasangan bisa menjadi solusi awal mengatasi konflik. Caranya dengan menyadari dan mengenali apa yang penting bagi pasangan dan lakukan kompromi dengannya. Konflik pernikahan takkan bisa selesai dengan memenangkan sikap Anda atau pasangan. Jika masih saja menemukan jalan buntu, sebaiknya datang bersama pasangan, dengan kesadaran bersama untuk meminta bantuan psikolog atau lembaga konsultasi pernikahan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar