HIV-AIDS Berawal dari Kesehatan Seksual

Banyak orang yang belum terbuka bicara seks dan kesehatan seksual. Dampaknya langkah proteksi mencegah berbagai penyakit seperti HIV AIDS pun masih minim.
Senin, 24/1/2011 | 19:52 WIB

KOMPAS.com - Tidak sedikit orang yang masih sungkan membicarakan seks dan masalahnya. Seks dan kesehatan seksual masih menjadi obrolan tabu bagi sebagian orang. Sikap seperti inilah yang juga membuat orang sulit terbuka membahas atau bahkan berkonsultasi mengenai berbagai masalah seksualitas, termasuk jika menyangkut penularan virus HIV-AIDS.

Menurut dr Nurlan Silitonga, pendiri klinik kesehatan seksual Angsamerah, HIV-AIDS berawal dari kesehatan seksual. Banyak orang yang memiliki masalah seksual tetapi tidak tahu harus mengadu ke mana. Apalagi jika masalahnya seputar HIV-AIDS, tambahnya.

"Stigma negatif tentang HIV-AIDS masih kuat. Orang lebih terbuka jika membahas masalah HIV-AIDS karena faktor narkoba atau suntikan. Tetapi jika penyakit ini tertular melalui hubungan seks, orang cenderung tidak mau bicara karena seks masih dipandang negatif," jelasnya, saat ditemui Kompas Female beberapa waktu lalu.

Kesulitan berbicara seks yang disebabkan karena stigma negatif seks membuat banyak orang tak mendapatkan informasi yang tepat mengenai kesehatan seksual. Termasuk di dalamnya mengenai cara melindungi diri dari bahaya HIV-AIDS. Bahkan tak sedikit juga orang yang merasa tak perlu memeriksakan diri apakah dirinya terinfeksi HIV-AIDS atau tidak. Tak heran karena masih banyak orang yang belum tersadarkan untuk memeriksakan kesehatan seksual dan berbagai penyakit yang berkaitan dengan seksualitas.

Dr Nurlan menjelaskan sejumlah faktor mengapa HIV-AIDS berawal dari kesehatan seksual. Pertama, katanya, banyak orang yang tidak tahu caranya memproteksi diri. Kedua, mereka yang berhubungan seks dengan berganti pasangan tak menyadari risiko dan bahaya di baliknya. Ketiga, minimnya kesadaran penggunaan kondom saat berhubungan seks, terutama pada kelompok tertentu seperti pekerja seks komersial.

"Tak perlu takut terinfeksi karena orang terlihat sehat dari luar. Mitos inilah yang membuat penyebaran HIV-AIDS pada kelompok tertentu seperti pekerja seks komersial menjadi tinggi karena minimnya kesadaran menggunakan kondom," jelas dr Nurlan.

Ketidaktahuan dan minimnya kesadaran memproteksi diri berawal dari sikap tabu dan tertutup untuk mendiskusikan masalah kesehatan seksual. Jika saja topik ini didiskusikan secara lebih terbuka, setiap orang bisa mencegah penyebaran berbagai penyakit terkait seksualitas. Hanya saja kondisi yang terjadi adalah sebaliknya. Orang tertutup bicara seks, bahkan merasa malu jika harus memeriksakan kesehatan seksualnya.

Rina (bukan nama sebenarnya) mengaku merasa sungkan, tak nyaman, dan tersinggung saat dokter memintanya melakukan tes darah untuk pemeriksaan HIV-AIDS. Permintaan ini diterimanya saat ia melakukan kontrol kesehatan atas penyakit paru yang dideritanya. Rina (28), pekerja media, merasa dirinya direndahkan atas permintaan dokter tersebut. Rina merasa gaya hidupnya jauh dari berbagai risiko terinfeksi HIV-AIDS. Baginya, pemeriksaan kesehatan ini adalah penghinaan atas dirinya. Saat menyerahkan sampel darah ke petugas medis, Rina juga merasa tak nyaman dan khawatir orang lain akan berpikiran negatif tentang dirinya. Meskipun hasil tes darah yang diterimanya menunjukkan negatif terinfeksi HIV-AIDS.

Tak sedikit orang yang memiliki pemikiran seperti Rina. Stigma negatif HIV-AIDS dan seks masih melekat dan membuat orang cenderung enggan memeriksakan kesehatan seksual. Terutama karena tak ingin dinilai buruk oleh orang lain yang melihatnya memeriksakan diri sebagai langkah proteksi. Satu bukti lagi bahwa kesehatan seksual belum menjadi perhatian banyak orang, dan cenderung dijauhkan karena pengaruh stigma negatif yang begitu kuat terpelihara.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar