Perempuan Pilih Menikahi Pria Kaya daripada Berkarier?

Perempuan lebih menginginkan menikah dengan pria kaya daripada mandiri secara finansial dengan kariernya?
Selasa, 4/1/2011 | 17:49 WIB

KOMPAS.com — Rupanya tak semua perempuan mendambakan kemandirian dalam hal finansial maupun karier dan pencapaian diri. Dr Catherine Hakim dari London School of Economics dalam risetnya mengklaim, perempuan lebih menginginkan menikah dengan laki-laki kaya daripada sukses dalam karier. Riset ini diterbitkan oleh think tank dari Centre for Policy Studies, tak lama setelah isu untuk menurunkan pembedaan upah antara pria dan wanita digelontorkan.

Hakim, melalui risetnya ini, mengkritisi David Cameron yang melontarkan ide tentang penambahan kuota perempuan sebagai pimpinan dalam perusahaan. Dikuatkan dengan surveinya terhadap sejumlah perempuan di Eropa, Hakim mengklaim isu kesetaraan jender hanyalah mitos.

"Perempuan masih lebih memilih menikah dan memilih suami yang berpenghasilan lebih besar dari mereka," demikan dituliskan dalam riset Hakim.

Kampanye kesetaraan yang berlangsung sekian tahun seperti tak punya gigi karena riset ini menunjukkan laporan bahwa jumlah perempuan yang memilih menikahi pria kaya, untuk menunjang hidupnya, lebih banyak dibandingkan pada era 1940-an.

"Perempuan di sejumlah negara di Eropa bersikeras untuk menikah, jika bisa, dengan laki-laki yang memiliki pendidikan dan penghasilan lebih tinggi darinya," kata Hakim. Ia menambahkan, perempuan memanfaatkan pernikahan dengan pria kaya sebagai alternatif atau tambahan yang menunjang kehidupan, pekerjaan, dan kariernya.

Penelitian yang mengacu pada data yang diambil dari Inggris dan Spanyol menunjukkan, sebanyak 20 persen perempuan di Inggris menikahi laki-laki yang berpendidikan jauh lebih tinggi pada era 1949. Kemudian, pada 1990 angka ini meningkat hingga 38 persen. Pola yang sama juga terjadi di sejumlah negara di Eropa, Amerika, dan Australia.

Menurut Hakim, hasil penelitiannya menunjukkan, kesetaraan dalam beban kerja rumah tangga bukan menjadi perspektif ideal bagi banyak pasangan. Artinya, banyak pasangan yang tak melihat pembagian kerja rumah tangga sebagai cara pandang ideal. Suami dan istri tak harus berbagi peran secara setara dalam urusan mengasuh anak dan pekerjaan rumah tangga lainnya.

"Bukan hal mengejutkan jika banyak istri yang memiliki penghasilan lebih rendah dari suaminya. Serta banyak pasangan yang secara rasional memutuskan bahwa perempuan lebih banyak mengambil peran mengasuh anak dan mengambil jatah cuti lebih banyak," jelas Dr Hakim. Bahkan, tambahnya, banyak perempuan yang mengaku bersedia menjadi ibu rumah tangga.

Perempuan punya banyak pilihan
Menurut Dr Hakim, cara berpikir perempuan sekarang ini menunjukkan perempuan memiliki lebih banyak pilihan daripada laki-laki. Perempuan bisa memilih untuk fokus pada keluarga atau pekerjaan dan karier.

"Di sisi lain, banyak politisi dan feminis yang kecewa dengan lambannya perubahan pencapaian perempuan dalam posisi penting dalam karier atau pekerjaannya," kata Dr Hakim, yang menyayangkan pandangan feminis yang masih menjadikan isu kesetaraan dalam pekerjaan sebagai amunisi politik.

Lebih jauh Dr Hakim menilai, perbedaan jenis kelamin dijadikan alibi sejumlah isu diskriminasi dan stereotip peran jender. Perbedaan jenis kelamin tidak dilihat sebagai pilihan personal, artinya melihat perempuan dan laki-laki memiliki perbedaan prioritas, tujuan hidup, serta pandangannya tentang karier. Perbedaan cara pandang perempuan dan laki-laki ini, menurut Dr Hakim, seharusnya lebih dilihat sebagai pilihan personal, bukan mengaitkannya dengan isu diskriminasi atau stereotip jender.

Penelitian yang dilakukan Hakim sekaligus juga merespons pedas atas rencana Uni Eropa memberikan cuti melahirkan selama 20 minggu dengan bayaran penuh.

Kebijakan yang dinilai ramah keluarga ini, menurut Hakim, justru akan menjadi bumerang kampanye kesetaraan jender bagi para pekerja. Meskipun demikian, misi awalnya kebijakan ini dibuat sebagai bentuk penghargaan dan pemberian kesempatan yang setara kepada perempuan bekerja. Hal itu menjadi bumerang karena banyak kritik yang muncul atas rencana Uni Eropa ini. Dikhawatirkan, perusahaan akan mempertimbangkan untuk merekrut perempuan usia subur karena rencana kebijakan cuti melahirkan tersebut. Alhasil, kesempatan bagi perempuan untuk bekerja pun semakin sedikit.

Perempuan di Eropa rupanya mencari jalan pintas untuk memudahkan dirinya, yang sebenarnya juga perlu dihargai sebagai pilihan personal. Bagaimana dengan Anda, perempuan Indonesia? Dengan semakin terbukanya pilihan, Anda lebih menikmati kemandirian finansial atau karier atas upaya personal, atau memanfaatkan kekayaan suami agar tak sulit lagi menafkahi diri?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar