"Pisah Ranjang" Usai Berhubungan Seksual

Masih ingin bertahan meskipun setiap hari terganggu pasangan?
Jumat, 8/5/2009 | 19:47 WIB

KOMPAS.com - Saat kita menikah, tentunya kita menyadari bahwa kita akan harus berbagi segalanya dengan pasangan, tak terkecuali tempat tidur. Boleh dibilang, kamar tidur adalah jantung dari sebuah hubungan. Di kamar tidur kita berbagi cerita tentang kegiatan sehari-hari, berbicara dari hati ke hati seputar hubungan dengan pasangan, dan tentunya, melaksanakan hubungan intim. Bila kita sudah tidak sehati dengan pasangan, barulah kita pisah ranjang dan memilih kamar tidur masing-masing. Karena tidak lagi satu visi, maka kita tidak ingin lagi berbagi, apalagi berhubungan intim dengan pasangan.

Namun dunia memang sudah berubah. Pasangan yang masih harmonis pun kini cenderung "pisah ranjang" (dalam tanda kutip), usai menunaikan kewajiban sebagai suami-istri. Sebuah survei yang diadakan oleh National Sleep Foundation pada 2001 mendapati bahwa 12% pasangan suami-istri di Amerika tidur sendiri. Pada tahun 2005 angka ini meningkat hingga 23%. Belum lama ini The New York Times memuat hasil survei yang diadakan oleh kalangan arsitek dan pengusaha bangunan, dimana mereka memprediksi bahwa pada 2015 nanti, 60% rumah pada umumnya akan memiliki dua kamar tidur utama. Gopal Ahluwalia, dari National Association of Home Builders, mengobservasii bahwa hal ini merupakan permintaan pasar yang akan terus berlanjut.

Mengapa pasangan harmonis pun tidur terpisah?
Desainer Diane von Furstenberg adalah salah satu contoh perempuan yang memiliki hubungan harmonis dengan pasangan, namun memilih tidur sendiri tanpa ditemani suaminya. Ia tidur di atas butiknya di New York, sedangkan suaminya tinggal di Carlyle. Desainer ini mengatakan pada majalah Town & Country, hal ini justru terjadi karena sang suami sangat menghargainya. Beberapa pasangan lain yang juga tidak tidur bersama; Pangeran Philip dan Ratu Elizabeth, serta Tim Burton dan Helena Bonham Carter, yang juga memiliki rumah sendiri-sendiri.

Umumnya, salah satu dari pasangan tersebut yang menginginkan adanya pengaturan ruang, karena mereka mungkin tidak bisa tidur dalam keadaan lampu menyala, atau pasangannya mengorok. Patrick Miller, pengajar sejarah di Cambridge University, terang-terangan mengatakan bahwa ia dan kekasihnya yang seorang peneliti, memilih tidur di kamar masing-masing. "Saya tidak suka ada orang yang bergerak-gerak saat saya ingin tidur. Sudah begitu, ia pengorok berat, sedangkan saya punya penyakit saraf, jadi saya butuh waktu lebih lama untuk terlelap," katanya.

Awalnya, pasangan ini tidur sekamar, namun salah satu tidur di matras di bawah. Awalnya sang kekasih, Karen Violet Shaftesbury, tidak suka pengaturan semacam itu, namun akhirnya mengikuti kemauan Patrick. "Patrik biasanya merapat ke tubuh saya sampai saya tertidur, lalu dia berjingkat ke kamarnya sendiri. Kangen juga sih, kalau saya terbangun tengah malam, tapi rasanya enggak fair juga menghalanginya tidur nyenyak," ujar Karen.

Bagi Neil Stanley, peneliti masalah tidur dari Norfolk and Norwich University Hospital, pasangan yang tidur terpisah pasti akan bubar hanya mitos belaka. Justru, "Orang yang kelelahan akan lebih menyedihkan, dan lebih punya risiko bercerai."

Keharusan berbagi tempat tidur, menurut Stanley, hanya lah suatu norma budaya, tanpa ada dasar ilmiahnya. “Tidur adalah hal paling egois yang dapat kita lakukan, dan kita tidak perlu membaginya," tegasnya.
Bagaimana dengan Anda? Masih rela terbangun terus gara-gara terganggu dengkuran suami?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar